KUBET – Ahli IPB: Pengendalian Tikus Sawah dengan Burung Hantu, Kurang Efektif

burung hantu (Tyto alba) secara massal untuk mengendalikan hama tikus di sawah kurang efektif, meskipun sempat berhasil di kebun kelapa sawit.
Menurutnya, membandingkan keberhasilan penggunaan burung hantu untuk mengatasi hama di kebun sawit dengan di sawah adalah hal yang kurang tepat. Kedua ekosistem ini sangat berbeda.
“Ketersediaan buah sawit yang berkelanjutan memungkinkan populasi tikus dan burung hantu tetap ada,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (13/05/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, keberhasilan burung hantu di perkebunan sangat bergantung pada ketersediaan mangsa (tikus) sepanjang tahun. Sebaliknya, di sawah, populasi tikus turun drastis setelah panen padi, sehingga burung hantu jadi kehilangan sumber makanan utamanya.
Akibatnya, burung hantu akan memangsa hewan lain seperti ular sawah, katak, dan kadal. Walaupun ini tidak merugikan ekosistem seperti pada penggunaan pestisida kimiawi yang jika gagal justru merugikan lingkungan.
“Kehadiran burung hantu tetap bisa memperkaya keanekaragaman hayati di sawah, hanya kurang sesuai saja,” ujar Swastiko.
Oleh sebab itu, Swastiko menyarankan pendekatan yang lebih komprehensif, salah satunya dengan menerapkan Trap Barrier System (TBS), yakni kombinasi tanaman perangkap dan penghalang fisik untuk mengontrol hama tikus.
Menurutnya, TBS bisa semakin efektif bila dikombinasikan dengan teknik lain seperti pengemposan, gropyokan, dan perburuan tikus massal setelah panen.
“Kombinasi ketiga metode pengendalian hayati inilah yang saat ini terbukti cukup efektif dalam menekan populasi tikus sawah,” ujarnya.
Ia juga menyarankan pendekatan kultur teknis, seperti menyamakan waktu tanam dan panen antarpetani, rotasi tanaman dengan palawija, dan pengaturan jarak tanam dengan sistem jajar legowo.
Terakhir, jika burung hantu tetap akan digunakan, maka harus dibarengi dengan menggunakan teknik pendekatan pengendalian tikus yang menyeluruh agar hasilnya maksimal.
“Dengan ini, hama tikus sawah dapat dikendalikan secara lebih efektif dan berkelanjutan, tanpa menimbulkan kerusakan pada ekosistem pertanian,” pungkasnya.