KUBET – UNICEF: Perusahaan Wajib Petakan Posisi Kerja bagi Disabilitas

Ilustrasi inklusivitas tenaga kerja

Lihat Foto

tenaga kerja.

Hal ini disampaikan Lukita dalam acara Ngulik (Nguobrol Asik) Sustainability yang diselenggarakan oleh Indonesian Society of Sustainability Professional (IS2P) pada Sabtu (24/5/2025).

Saat ini, daya serap tenaga kerja disabilitas di Indonesia masih sangat rendah, hanya 0,53 persen. Menurut Lukita, salah satu penyebabnya adalah belum adanya pemetaan posisi kerja oleh pelaku usaha. Tanggung jawab itu justru dibebankan kepada penyandang disabilitas.

“Padahal seharusnya pelaku usahalah yang memetakan posisi kerja tersebut,” ujarnya.

Akibatnya, banyak penyandang disabilitas hanya bekerja di sektor fisik yang berisiko tinggi, bergaji rendah, dan tidak mempertimbangkan potensi maupun keterampilan mereka. Mereka kerap ditempatkan di posisi yang dianggap mudah diajarkan tanpa ruang untuk berkembang.

Lukita mengutip pernyataan Co-Founder Silang.id (Disabilitas Tuli), Bagja Prawira, yang menyebut bahwa teman Tuli banyak bekerja di sektor pertanian. Hal ini terjadi karena pemetaan posisi tenaga kerja di sektor formal masih minim. Alhasil, mereka hanya diberikan alat kerja seperti cangkul dan menjalankan instruksi, bukan karier.

Stigma negatif seperti dianggap lambat, sulit dilatih, atau berisiko tinggi memperparah eksklusi disabilitas dari dunia kerja.

“Padahal inklusivitas bukan soal memberi kesempatan seadanya, tapi membuka jalan bagi potensi berkembang,” tegasnya.

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan, Lukita menekankan pentingnya pelaku usaha melakukan identifikasi posisi kerja yang sesuai dengan berbagai jenis disabilitas. Ia juga menyoroti bahwa penyandang disabilitas memiliki kemampuan setara—bahkan bisa lebih unggul—jika ditempatkan di posisi yang tepat.

Pelatihan bagi pelaku usaha pun dinilai penting agar proses pemetaan berjalan efektif. Lukita menambahkan bahwa sebagian besar perusahaan sudah menerapkan prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan HIRAC, tinggal memperluasnya agar inklusif terhadap disabilitas.

Contoh pemetaan meliputi: posisi kerja tanpa kebutuhan mobilitas tinggi dapat diisi pengguna kursi roda; pekerjaan yang membutuhkan kestabilan emosional sebaiknya tidak diberikan kepada individu dengan gangguan emosional; atau posisi tanpa tuntutan intelegensi kompleks cocok untuk penyandang down syndrome.

“Yang penting, pemetaan ini dilakukan oleh pihak yang memang punya kapasitas dan sumber daya. Bukan diserahkan kepada penyandang disabilitas,” ujarnya.

UNICEF Indonesia sendiri telah merekrut seorang teman Buta setelah terlebih dahulu memetakan posisi kerja yang tepat. Proses ini disertai prekondisi, termasuk pelatihan internal untuk karyawan agar memahami cara interaksi inklusif, serta penyediaan perangkat kerja yang sesuai seperti komputer dengan sistem pembaca suara.

Lukita menegaskan bahwa bentuk akomodasi ini adalah kewajiban, bukan pilihan. Ia merujuk pada Focused Discussion Group (FDG) bersama Komisi Nasional Disabilitas yang menekankan pentingnya akomodasi layak, termasuk juru bahasa isyarat bagi teman Tuli.

Menutup pernyataannya, Lukita menyebut bahwa mewujudkan inklusivitas tenaga kerja yang berkelanjutan adalah pekerjaan rumah besar. Namun, hal itu bukan mustahil jika pelaku usaha dan masyarakat turut aktif berperan, bukan hanya jadi penonton.