KUBET – Petani NTB Ungkap Manfaat Tanaman Bioteknologi, Hemat dan Tahan Kering

bioteknologi lebih efisien dibanding bibit biasa.
Perbedaan signifikan dirasakannya terutama dari segi penggunaan herbisida (pupuk kimia), air, dan produktivitas hasil panen.
Dalam acara Media Class 2025 bertajuk “The Science Behind: Food Security” di Jakarta, Kamis (19/6/2025), Hamzan menjelaskan bahwa efisiensi paling terasa ada pada penggunaan herbisida.
Jika sebelumnya ia perlu melakukan penyemprotan sebanyak dua hingga tiga kali sebelum dan sesudah penanaman, kini cukup satu kali pada masing-masing tahap.
“Setelah menggunakan bibit jagung bioteknologi DK95R hanya membutuhkan penyemprotan herbisida sebanyak satu kali sebelum dan sesudah penanaman,” ujar Hamzan.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa bibit jagung DK95R dirancang memiliki toleransi tinggi terhadap herbisida.
Bibit itu tidak menyerap bahan kimia yang digunakan untuk menanggulangi gulma sehingga justru gulma yang menyerapnya secara maksimal. Hal ini membuat pertumbuhan gulma lebih terhambat dalam waktu yang lebih lama.
Selain itu, ia menilai penggunaan bibit jagung bioteknologi ini juga lebih efisien dalam penggunaan air.
Hal ini sangat menguntungkan, terutama karena wilayah tempat tinggalnya kerap kali mengalami kesulitan air.
“Meski saat ini belum tahan pada kekeringan sepenuhnya, namun memiliki toleransi pada kering yang lebih tinggi,” ujarnya.
Hamzan mencontohkan, tanaman jagungnya tetap baik-baik saja meskipun tidak terkena hujan selama beberapa hari.
Ia berharap ke depan akan ada lebih banyak bibit bioteknologi yang mampu beradaptasi lebih baik terhadap kondisi kekeringan, mengingat beberapa kawasan di Indonesia, termasuk wilayahnya, kerap dilanda kekeringan.
Ia mengakui bahwa dalam praktiknya, tidak semua petani bisa memanen secara serempak. Posisi lahan yang berada di antara kawasan yang belum siap panen menjadi salah satu penyebab keterlambatan. Namun, karena kualitas jagung tetap terjaga, hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi petani.
“Karena lebih efisien dari penggunaan herbisida, air, penggunaan bibit jagung bioteknologi ini juga mengurangi biaya produksi hampir 20 persen dalam setiap siklus tanam,” tambahnya.
Meski demikian, ia menyebut penggunaan bibit ini bukan tanpa tantangan. Awalnya, akses terhadap benih dan informasi sangat terbatas.
“Dulu hampir nggak ada yang tahu kalau ada bibit jagung yang menguntungkan ini, setelah tahu pun tetap susah dapatnya,” ujar Hamzan.
Bersama masyarakat sekitar, ia kemudian membentuk komunitas untuk mengakomodasi pembelian bibit dari kota-kota besar. Kini, tantangan tersebut sudah jauh berkurang karena akses terhadap benih semakin mudah.